Rabu, 25 Desember 2013

Adat Upacara Kelahiran dalam Masyarakat Aceh

Bab I
Pendahuluan
1.1    Latar Belakang Masalah
    Upacara yang berkembang dalam masyarakat telah menjadi kebutuhan dan dijadikan sebagai kegiatan ritual dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara, setiap upacara identik dengan acara makan-makan yang seringkali berlangsung setelah acara seremonialnya atau dinamakan dengan kenduri. Sekarang ini upacara yang tetap berlangsung dalam masyarakat Aceh di antaranya adalah upacara turun ke sawah, upacara tolak bala, upacara perkawinan, upacara kehamilan anak pertama, dan upacara kematian. Upacara-upacara tersebut masih dipertahankan karena dibutuhkan oleh masyarakat, untuk memenuhi tuntutan adat.
    Menurut masyarakat Aceh, adat harus dijalankan dan dipenuhi, serta dipatuhi. Pepatah Aceh menyebutkan bahwa : Matèe aneuk meupat jeurat, matèe adat pat tamita. Pepatah ini mengibaratkan bahwa adat dengan anak berada dalam posisi yang sama pentingnya, apabila anak yang meninggal masih ada bekasnya yaitu kuburan sedangkan apabila adat yang hilang kita tidak tahu ke mana mesti mencarinya. Ungkapan tersebut juga merupakan wujud kesadaran masyarakat tentang pentingnya adat-istiadat yang telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap kelangsungan kehidupan sosial budaya masyarakat di Aceh. Bahkan bagi kalangan masyarakat Aceh, adat telah mendapat tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan keagamaannya. Begitulah makna adat yang dipahami oleh masyarakat Aceh sejak zaman kerajaan hingga sampai sekarang ini, apabila pada satu momen kita tidak menjalankan adat atau upacara yang telah ditentukan maka yang bersangkutan merasa sedih dan dirinya merasa sangat terhina karena tidak dihormati secara adat yang berkembang dalam masyarakat Aceh.
    Dalam makalah ini penulis ingin memaparkan upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Aceh dalam menyambut kelahiran anak pertama. Dimulai dari masa kehamilan sang ibu, kelahiran si jabang bayi, dan upacara-upacara setelah kelahiran bayi dalam masyarakat Aceh.
1.2 Tujuan Penulisan
    Secara umum tujuan penulisan ini adalah untuk memenuhis tugas makalah mata kuliah Adat dan Budaya Aceh sebagai tugas presentasi kelompok. Secara khusus penulisan ini juga memiliki tujuan yaitu memberi dan menambah pengetahuan mahasiswa terkait upacara ataupun ritual yang ada di Aceh khususnya upacara sebelum dan sesudah kelahiran bayi.
1.3 Manfaat Penulisan
    Hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat, baik bagi mahasiswa maupun masyarakat agar lebih memperhatikan dan melestarikan tradisi yang ada di Aceh agar tidak hilang ditelan zaman yang semakin canggih ini. Penulisan ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi khalayak umum dan penulis sendiri.











Bab II
Pembahasan
2.1  Masa hamil
    Pada masa hamil, seorang dara barô yang menantikan kelahiran anak pertama mengalami berbagai jenis upacara yang harus dipatuhi dan dijalaninya sebagai masayarakat Aceh. Berikut akan penulis paparkan satu per satu.
2.1.1 Ba bu (mèe bu)
    Adat Aceh apabila istri dalam keadaan hamil, seorang isteri pada saat hamil anak pertama, maka sudah menjadi adat bagi mertua atau maktuan dari pihak suami mempersiapkan untuk membawa atau mengantarkan nasi hamil kepada menantunya. Acara bawa nasi ini disebut ba bu atau mèe bu. Upacara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut sang cucu yang dilampiaskan dengan rasa suka cita sehingga terwujud upacara yang sesuai dengan kemampuan maktuan. Nasi yang diantar disebut bu kulah, biasanya dibungkus dengan daun pisang muda berbentuk piramid, ada juga sebagian masyarakat mempergunakan daun pisang tua. Terlebih dulu daun tersebut dilayur pada api yang merata ke semua penjuru daun, karena kalau apinya tidak merata maka daun tidak kena layur semuanya. Sehingga ada mitos dalam masyarakat Aceh kelak apabila anak telah lahir maka akan terdapat tompel pada bahagian badannya. Di samping nasi juga terdapat lauk pauk yang terdiri dari ikan, daging, ayam panggang, dan burung yang dipanggang kawan nasi. Tidak lupa pula buah-buahan. Barang-barang ini dimasukkan ke dalam idang atau katéng (wadah). Idang ini diantar kepada pihak menantu perempuan oleh pihak kawom atau kerabat dan jiran (orang yang berdekatan tempat tinggal). Upacara ba bu berlangsung dua kali. Ba bu pertama disertai boh kayee (buah-buahan), kira-kira usia kehamilan pada bulan keempat sampai bulan kelima. Acara yang kedua berlangsung dari bulan ketujuh sampai dengan bulan kedelapan. Ada juga di kalangan masyarakat acara ba bu hanya dilakukan satu kali saja. Semua itu tergantung kepada kemampuan bagi yang melaksanakannya, ada yang mengantar satu idang kecil saja dan ada pula yang mengantar sampai lima atau enam idang besar. Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan. Ini dimaksudkan bahwa perempuan yang lagi hamil adalah orang sakit, sehingga dibuat jamuan makan yang istimewa, menurut adat orang Aceh perempuan yang lagi hamil harus diberikan makanan yang enak-enak dan bermanfaat. Dalam ilmu kesehatan pun memang dianjurkan untuk kebutuhan gizi bayi yang dikandungnya. Apabila itu tidak dituruti maka berakibat buruk pada anak yang dikandungnya, istilah bahasa Aceh roe ie babah (ngeces). Upacara bawa nasi suatu kewajiban adat yang harus dilakukan, sampai saat sekarang masih berlangsung dalam masyarakat.
    Lain halnya pada Masyarakat suku Aneuk Jamee Kabupaten Aceh Selatan terdapat adat bi bu bideun (memberi nasi untuk ibu bidan), maksudnya seorang anak menikaah dan hamilnya sudah 6 bulan sampai 7 bulan maka untuk anak tersebut sudah dicarikan ibu bidan untuk membantu proses kelahirannya. Mertua menyediakan sirih setapak (bahan-bahan sirih), pakaian sesalin (satu setel), dan uang ala kadarnya. Bahan-bahan yang disebut peunulang ini akan diberikan kepada bideun sebagai tanda penyerahan tanggung jawab untuk merawat kelahiran bayi. Mertua menyerahkan menantunya kepada bidan. Penyerahan ini diiringi dengan ucapan “nyoe udep matee aneuk lon, lon pulang lam jaroe gata” (hidup mati anak saya, saya serahkan dalam asuhan saudara). Lalu bidan mengucapkan “bak geutanyoe useuha umu bak Tuhan” (kita berusaha, umur pada Tuhan).
    Berdasarkan perubahan zaman yang terus menyesuaikan adat ba bu ini ada hal-hal yang memang disesuaikan seperti pemberian mertua kepada bidan yang sekarang banyak diganti dengan pemberian mentah berupa uang saja. Kemudian banyak yang sudah menggunakan bidan rumah sakit bukan lagi bidan kampung tetapi tradisi ba bu bideun tetap ada karena tugas bidan kampung mencuci kain darah ibu dan bayi serta memandikan nifas si ibu pada hari ke-44.
2.1.2 Pantangan
    Seorang istri yang sedang mengalami masa hamil dalam masyarakat Aceh, maka ia pun mulai memasuki masa berbagai pantangan. Pantangan-pantangan yang harus ditempuhnya antara lain adalah duduk di ujung tangga (ulèe reunyeun), berada di luar rumah pada senja dan malam hari, melangkahi kuburan-kuburan, datang ke tempat-tempat suram, membicarakan hal-hal yang tidak pantas, dan melihat benda-benda serta hewan ajaib. Semua pantangan tersebut maksudnya adalah untuk mencegah dirinya dari kemungkinan-kemungkinan tertimpa bencana seperti jatuh karena tersandung, tubuh terbentur dengan benda keras, masuk angin, serta hal lain yang dianggap dapat membahayakan ibu dan janin. Selain itu, ada pula yang beranggapan karena tubuh orang yang hamil itu lemah dan aliran darahnya mudah mengalami perubahan maka dengan mudah dapat dipengaruhi oleh setan dan makhluk halus dengan maksud yang jahat. Oleh karena itu, ada semacam ajimat yang sudah dijampi (dirajah) yang kemubdian dililitkan pada pinggang wanita hamil tersebut untuk menangkal segala maksud jahat itu. Namun sekarang sudah banyak yang tidak menggunakan ajimat ini karena takut mengarah kepada syirik.
    Selama empat puluh empat hari ketika sudah melahirkan pun ibu bayi harus tetap berada dalam kamar. Tidak boleh berjalan-jalan apalagi keluar rumah. Tidak boleh minum banyak, nasi dimakan tanpa gulai atau lauk-pauk. Hanya cukup dengan garam dan ikan teri gonseng. Begitu pula dengan makanan pedas sangat dilarang. Masa pantangan ini disebut masa duk dapu. Karena selama pantangan ibu bayi selalu dipanasi dengan bara api yang terus menerus di samping atau di bawah tempat tidurnya, masa ini disebut juga madeung.
2.1.3 Meuramien
    Upacara meuramien (makan bersama) dara barô yang sudah hamil di tempat-tempat tamasya merupakan kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat Aceh. Dara barô kerapkali diajak makan bersama dipinggir-pinggir laut ataupun di tempat-tempat yang berpemandangan indah dengan tujuan supaya ia tidak kesepian duduk termenung memikirkan saat berat ketika bersalin pada bulan-bulan yang akan datang. Karena melahirkan dianggap sebagai pekerjaan sabung nyawa (sabông nyawong) maka dara barô mendapat santunan yng manja  dari sanak keluarganya.
2.2 Tahap Pertama Kelahiran Bayi
    Tahap pertama kelahiran bayi merupakan tahap diadakannya upacara ketika bayi baru lahir. Serangkain upacara kelahiran tersebut akan kami paparkan sebagai berikut.
2.2.1 Koh Pusat
    Bidan terlebih dulu menyediakan alat-alat untuk menyambut kelahiran bayi berupa benang. Jika anaknya laki-laki maka benang tesebut terdiri dari 7 warna sedangkan jika anaknya perempuan benangnya terdiri dari 5 warna. Banyaknya warna benang ini melambangkan kekuatan fisik berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kemudian disiapkan pula teumen/buloh (sebilah bambu tipis) yang sudah diraut untuk alat memotong pusat. Ibu dara baro menyediakan kunyit dan sirih selengkapnya sedangkan mertua dara barô menyediakan ija tumpèe (kain pembungkus bayi).
    Cara memotong pusat ialah dengan mengikat kedua ujungnya dengan tali benang kemudian bidan mengambil teumen lalu memotongnya. Pusat bayi yang sudah dipotong dibubuhi kunyit. Warna kunyit dilambangkan sebagai sumber kemuliaan, dulu warna kuning merupakan lambang kebangsawanan. Selanjutnya, bayi dimandikan dengan air yang agak hangat, lalu disembur dan diberi bedak. Semburan air sirih terdiri dari sirih, pinang, kapur, gambir lalu bayi dibedung dengan ija tumpèe. Namun, karena perkembangan zaman dengan ilmu medis yang semakin canggih, bidan rumah sakit sudah melarang penggunaan sembur sirih pada pusat bayi serta melarang penggunaan bedak pada bayi yang baru lahir. Lalu pemotongan pusat juga sudah dilakukan oleh bidan rumah sakit yang masih tetap mengawasi bayi sampai tali pusat kering dan terpisah dari pusat.
2.2.2 Azan atau Qamat
    Upacara ini mengandung arti pengenalan terhadap agama Islam kepada bayi. Orang yang membacakan azan atau qamat harus orang yang bersih badannya, berwuduk, dan berpakaian rapi seperti orang yang akan melaksanakan salat. Bayi dipangku dengan menghadap kiblat lalu azan atau qamat dibacakan dengan suara nyaring dan merdu agar bayi itu nyaring dan merdu pula suaranya. Ada anggapan yang menyatakan bahwa jika bayi itu tidak menangis ketika mendengar azan atau qamat berarti ia akan mendengar nasihat-nasihat oarang tua nanti serta taat pada agama. Pemilihan orang yang membaca azan atau qamat mempunyai arti tertentu yang sangat berarti bagi si bayi karena kelak anak itu akn meniru sifat dan kedudukan seperti orang yang membacakan azan atau qamat tadi.
2.3.2 Tanom Adoe
    Setelah melahirkan, adoe/placenta/ari-ari/kakak harus ditanam. Apabila dibuang sembarangan, kakak itu akan diganggu oleh bermacam-macam hewan yang mengakibatkan bayi sakit perut dan menimbulkan berbagai macam penyakit.
    Adoe yang lahir bersama bayi tadi dibersihkan oleh bidan lalu dimasukkan dalam sebuah kanöt (periuk) yang terbuat dari tanah liat. Kemudian dibubuhi zat asam garam dan abu dapur supaya adoe dapat kering dan tidak membusuk. Dalam buku Adat Istiadat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh disebutkan bahwa dalam periuk adoe tersebut juga dibubuhi aneka warna bunga-bunga dan wangi-wangian sebagai simbolik agar bayi tadi tahu kepada kebersihan dan kecantikan. Setelah dibubuhi berbagai keperluan tadi, kanöt tersebut ditanam oleh bidan. Adoe dari bayi laki-laki ditanam di bawah seurayueng (cucuran atap) dan adoe dari bayi perempuan ditanam di bawah tangga. Tempat penanaman ini dikaitkan hubungannya dengan kedudukan laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ratu rumah tangga.
2.3 Tahap Kedua Kelahiran Bayi
    Tahap kedua kelahiran bayi merupakan upacara yang dilaksanakan ketika bayi sudah masuk ke usia yang mengharuskan cukô ôk, akikah, dan sebagainya.
2.3.1 Cukô Ôk
    Cukô ôk merupakan upacara cukur rambut yang dilakukan setelah bayi berumur 1 bulan. Upacara ini bertujuan untuk membuang rambut kotor yang dibawa sejak lahir dan agar rambut bayi tumbuh lebih subur lagi. Di Tamiang upacara cukur rambut diadakan pada hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir yang disebut menyangke rambut budak yang kemudian disertai dengan pemberian nama bayi. Ada pula yang melaksanakan prosesi cukur rambut ini pada hari ketujuh kelahiran bayi.
    Upacara cukur rambut biasanya dilakukan oleh bidan ataupun seorang tua yang telah lazim mengerjakan pekerjaan tersebut.
2.3.2 Peucicap
    Upacara peucicap adalah upacara untuk memberi rasa makanan kepada bayi. Rasa yang diberikan ini terdiri dari manisan lebah dan air buah-buahan. Bahan-bahan yang harus dipersiapkan dalam upacara ini terdiri dari manisan lebah, buah sawo, mangga, rambutan, nangka, dan tebu. Kemudian dibutuhkan juga hati ayam, ikan lalu persiapkan juga surat Yasin dan Rencong. Bahan-bahan tadi dipersiapkan oleh nenek bayi dari pihak ibu bayi.
    Peucicap dilakukan oleh orang-orang alim terpandang dan baik budi pekertinya agar bayi itu kelak alim, terpandang, dan baik budi pekertinya. Karena menurut anggapan mereka bayi akan meniru sifat-sifat orang peucicap. Jika bayi tersebut laki-laki maka peucicap dilakukan oleh laki-laki sedangkan jika bayi perempuan maka peucicap dilakukan oleh perempuan.
    Peucicap dimulai dengan mengucapkan “bismillahirrahmanirrahim, beu mameh lidah, panyang umu, mudah raseuki, di thee lam kawom, dan taat keu agama” (bismillahirrahmanirrahim, manislah lidah, panjang umur, mudah rezeki, terpandang dalam keluarga, dan taat beragama). Setelah ucapan selesai, manisan lebah, air buah-buahan pun diolesi pada mulut bayi.
    Setelah acara pengolesan manisan pada mulut bayi, lalu diambil hati ayam, diletakkan di atas dada bayi yang kemudian dibolak-balikkan dengan membaca basmallah. Hal ini bertujuan agar si anak bertindak dan berbuat sesuatu kelak selalu mendapat petunjuk. Seorang anak yang melakukan pekerjaan yang salah selalu ditegur dengan kata-kata “lagee ureung hana jibalek ate manok” (seperti oarang yang tidak dipecicap dengan hati ayam).
    Terakhir setelah peucicap dengan manisan dan hati ayam, kemudian diperlihatkan surat Yasin dan rencong pada aneuk manyak yang bertujuan agar kelak ia menjadi anak yang taat pada agama serta menjadi anak yang berani mempertahankan kebenaran dan berani melawan kejahatan.

2.3.3 Akikah
    Masyarakat Aceh menganggap upacara akikah merupakan adat yang berkaitan dengan agama. Bagi orang-orang yang mampu, upacara dilangsungkan dengan menyembelih kerbau atau kambing sedangkan bagi yang kurang mampu akan menyembelih kambing saja. Hewan yang disembelih adalah jantan, tidak boleh betina. Tradisi ini berlaku turun-temurun. Daging hewan harus habis dimakan pada hari kenduri itu. kalau masih ada sisanya daging itu dibagi-bagikan kepada sanak keluarga dan tetangga.
    Pada saat akan dilangsungkan upacara, ayah si bayi menyerahkan hewan sembelihan itu dan seluruh bahan keperluan kenduri kepada Teungku Sagoe dan Geuchik. Mereka yang akan memanggil pemuda gampong sebagai tenaga pekerja dalam upacara. Kemudian hewan disembelih oleh Teungku, lalu dimasak bersama-sama dan makan pula bersama-sama.
2.3.4 Peutrôn Aneuk Manyak
    Peutrôn Aneuk Manyak merupakan upacara turun tanah bayi yang pelaksanaannya berbeda-beda di setiap daerah. Turun tanah bayi pada masyarakat Gayo dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi lahir bersamaan dengan upacara cukur rambut, pemberian nama, dan akikah. Lain halnya pada masyarakat Aneuk Jamee, turun tanah bayi disebut dengan turun ka aie yang dilakukan pada hari keempat puluh empat bersamaan dengan cukur rambut, pemberian nama, dan kadang-kadang pula disertai dengan acara hadiah. Dahulu turun tanah bayi dilakukan setelah bayi berumur satu sampai dua tahun. Terlebih bila anak itu anak pertama karena upacara untuk anak pertama pasti lebih besar.
    Pada hari upacara ini bayi digendong oleh seorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekerti. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Bayi beserta orang yang menggendong ditudungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada tiap seginya. Lalu di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tidak takut terhadap suara petir. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila anak itu perempuan sebagai simbolik agar anak perempuan tersebut kelak menjadi orang yang rajin. Jika anak itu laki-laki maka salah seorang keluarga akan bergegas mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu sebagai simbolik kesatriaan. Kemudian si anak ditegakkan di atas tanah, Teungku Sagoe menyebut sa, dua, lhee, peut, limong, nam, tuuuujoh. Disambung dengan ucapan “lagee bumoe nyoe teutap, meunan beuteutap pendirian gata” (seperti kukuhnya bumi ini, maka demikianlah pendirianmu harus tetap). Setelah itu, anak tersebut dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali dengan mengucapkan salam setibanya di rumah.
    Pada masyarakat Gayo sebelum bayi diturunkan melalui tangga, terlebih dulu Imam beserta peserta upacara membaca doa untuk keselamatan agar bayi panjang umur, mudah rezeki, beriman, dan beragama. Kemudian bayi dipangku oleh seorang ralik (kerabat perempuan dari pihak ibu bayi) sambil melekatkan pulut kuning di telinga bayi, mengoles manisan lebah di bibir bayi dengan mengucapkan mudahlah rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama. Setelah itu, bayi dipangku oleh semua peserta upacara secara bergantian dengan mengucapkan ucapan yang sama hingga selesai. Lalu barulah bayi dibawa turun tanah ke tempat pemandian atau sungai untuk dimandikan dengan upacara tertentu.
    Pada masyarakat Tamiang, turun tanah bayi disebut dengan menyangke rambut budak disertai dengan acara cukur rambut, pemberian nama, kenduri, dan marhaban. Bayi diayun dalam ayunan seirama dengan irama marhaban. Kemudian anggota marhaban berdiri, bayi diangkat dari ayunan oleh seorang anggota keluarga untuk dibawa keliling anggota marhaban tadi. Rambut digunting kemudian dimasukkan ke dalam kelapa muda terukir yang telah disediakan dalam talam. Pengguntingan rambut dilakukan oleh anggota marhaban secara bergiliran. Pengguntingan rambut diselesaikan oleh bidan dan dilanjutkan dengan acara jejak tanah bayi.
2.3.5 Peutrôn Dapu
    Upacara Peutrôn Dapu (turun dapur) dilakukan pada hari ke empat puluh empat setelah melahirkan. Cara-caranya sesuai dengan ajaran agama Islam. Pada hari tersebut, sanak keluarga dan tetangga berkumpul untuk turut membantu penyelenggaraan kenduri.
    Ibu mertua yang datang bersama-sama sanak keluarganya untuk peusijuk menantunya yang telah mengeluarkan darah dari tubuhnya membawa bahan-bahan seperti ketan kuning (bu leukat kunèng), ayam panggang (manok panggang), beras padi bercampur beras kunyit (breuh padé, breuh kunèng), penganan (tumpoe), daun sidingin (ôn sisijuek), segenggam rumput padi (naleung sambo), sejenis dedaunan (ôn manek-manoe), dan tepung tawar (teupong tabeu). Secara adat resam yang lazim menepung tawari (peusijuk) menantunya dengan bahan-bahan yang dibawa sendiri kemudian diikuti oleh hadirin. Setelah upacara mandi dan menepung tawari selesai, ibu mertua mempersembahkan kepada menantunya satu setel pakaian dan sesetel pula untuk besannya sebagai hibah atas segala jerih payah selama ia merawat menantu dan cucunya.
    Setelah melewati berbagai upacara di atas, ada tradisi lain yang mungkin sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Aceh yaitu tradisi membuai anak dengan nina bobok berupa kisah-kisah perjuangan, syair-syair agama, dan sajak-sajak yang menggelorakan semangat. Sejak masih dalam buaian anak sudah ditempa dengan lagu-lagu perjuangan dan dipupuk dengan kisah-kisah ajaran agama sehingga sudah selayaknya bila dewasa ia akan menjadi orang-orang berani dan satria serta memiliki rasa tanggung jawab terhadap agama.
    Sebagian sajak-sajak buaian yang populer yang dikutip dari buku Adat Resam Aceh adalah sebagai berikut.
Dô ku da idang
Geulayang ka putôh taloe
O manyak cut, rayeuk beureujang
Jak tulông prang bila nanggroe

Dô ida idang
Bak keutapang di teungoh nanggroe
Oh rayeuk gata hai ulèe balang
Jak bantu prang raja nanggroe

Jak ku dôdô, jak ku dôdô
Boh tulo ngon boh cempala
Oh rayeuk gata hai teungku lintô
Jak cok judô dalam ngaza
...
Diterjemahkan oleh Talsya sebagai berikut.
Tidur, tidurlah anakku sayang
Layang-layang putus talinya
Wahai kasihku intan cemerlang
Bantulah perang bila dewasa

Tidur-tidurlah putraku sayang
Pohon rindang di bukit sana
Bila usiamu dewasa nanti
Sembahkan bakti di medan jihad

Tidur, tidurlah intanku sayang
Unggas bermain di kaki bukit
Bila kasihku telah dewasa
Jemput jodohmu di kancah perang
...

















Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
    Serangkaian upacara kelahiran yang telah dipaparkan masih diwarisi oleh masyarakat Aceh. Hanya saja ada beberapa hal yang memang harus diperbarui dan dikondisikan. Setelah kita mengetahui berbagai tradisi tadi maka terlihatlah bahwa Aceh memang sangat kaya budayanya karena untuk melahirkan saja ada beberapa adat yang mesti dilalui sang ibu dan bayi. Adat menyambut kelahiran anak adalah kebiasaan masyarakat Aceh dengan mengadakan upacara yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam ajaran Islam. Ketentuan tersebut telah menjadi kepercayaan dan tradisi orang-orang tua yang dilakukan pada masa dahulu. Serangkaian upacara tersebut seperti ba bu (bawa nasi ), cukô ôk (cukur rambut), peucicap (memberi rasa makanan), akikah dan turun tanah dinilai penting dan bermakna dalam kehidupan, sehingga perlu untuk dijalankan sesuai dengan ketentuan adat yang telah ditetapkan.
3.2 Saran
    Rangkaian dari upacara ini adalah proses pembelajaran sehingga dapat kita ambil iktibar dalam kehidupan kita sehari-hari, adat istiadat yang terdapat dalam suatu upacara harusnya tetap dilestarikan karena adat merupakan salah satu cerminan dari budaya bangsa. Di zaman serba modern sekalipun, kegiatan ritual ini akan menjadi aset wisata budaya. Zaman boleh saja modern tetapi adat dan budaya jangan sampai hilang. Jadi kita berusaha bagaimana adat dan budaya tersebut tetap tampil disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Daftar Pustaka
Depdikbud. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Popinsi Daerah Istimewa Aceh. Banda Aceh :
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Propinsi Daerah Istimewa Aceh. 1990.
Pedoman Umum Adat Aceh Edisi I. Banda Aceh : LAKA Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Talsya, T. Alibasjah. 1973. Adat Resam Aceh. Banda Aceh : Pustaka Meutia.
Rujukan dari Web :
http://gerbangaceh.blogspot.com/2007/12/ritual-masyarakat-aceh-dalam-menyambut.html.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar